Dodo Kurniawan,
SE., ME.
Akademisi STIE & STKIP YAPIS Dompu
Latar
Belakang
Konsep perencanaan pembangunan perdesaan
yang berasal dari bawah (bottom up
planning) yang telah diterapkan selama ini mulai dari musyawarah rencana
pembangunan desa (musrenbangdes), musyawarah rencana pembangunan kecamatan
(musrenbangkec), musyawarah rencana pembangunan kabupaten (musrenbangkab),
musyawarah rencana pembangunan provinsi (musrenbangprov) sampai pada musyawarah rencana pembangunan
nasional (musrenbangnas), hingga kini ternyata belum dilaksanakan secara
optimal. Hal ini terbukti dengan masih adanya beberapa usulan dari desa yang
hanya dirumuskan oleh beberapa orang saja (segmentik), dan bahkan masih
terkadang ditemukan usulan yang dirumuskan oleh hanya Kepala Desa dan Ketua BPD
atau seringkali mengalami intervensi dari pemerintah tingkat kecamatan.
Pada tingkat musrenbang kecamatan
dan musrenbang kabupaten juga seringkali ditemukan adanya dominasi sektoral
dalam proses tawar menawar program tanpa melihat dan mempertimbangkan usulan
yang muncul dari bawah. Kondisi ini juga dimungkinkan karena memang usulan dari
bawah tersebut tidak memiliki dasar yang
kuat sebagai aspirasi masyarakat dari desa yang bersangkutan.
Menyadari masih banyaknya kelemahan
dan ketidaksempurnaan sistem perencanaan pembangunan pendesaan masa lalu,
meskipun telah dilakukan perencanaan dari bawah, maka salah satu upaya untuk
memberikan panduan terutama kepada para perencana dan pengambil keputusan serta
peneliti pembangunan pedesaan tentang bagaimana melaksanakan perencanaan
pembangunan perdesaan, bagaimana melaksanakan perencanaan pembangunan perdesaan
dari bawah menggunakan pendekatan partisipatif, yaitu dengan melakukan studi
pembangunan perdesaan secara cepat dan intensif.
Studi Pembangunan Perdesaan Secara
Cepat (Rapid Study) adalah untuk
lingkup kabupaten dan Studi Pembangunan Perdesaan Intensif (intesive Study) adalah lingkup
kecamatan. Kedua studi tersebut pada dasarnya adalah serupa, perbedaanya adalah
mengenai lingkup studinya, yang pertama adalah untuk kabupaten dan yang kedua
untuk kecamatan. Kedua studi ini menguraikan tentang gambaran wajah (profil)
dan keadaan daerah yang diamati studi, meliputi sumberdaya alam, dan
lingkungan, kependudukan dan pola permukiman, sistem administrasi pemerintahan,
proses dan prosedur perencanaan pembangunan, metoda pengumpulan data melalui
diskusi kelompok terarah (Fokus Group
Discussion), melakukan analisis-analisis (a) kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman, (b) analisis permasalahan, (c) analisis potensi, dan (d) analisis
kepetingan/kebutuhan. Tujuan, strategi kebijaksanaan dan program pembangunan
yang dibutuhkan menggunakan kriteria
terukur. Selain dari pada itu dilakukan pula penentuan Desa Pusat Pertumbuhan
(DPP) sebagai upaya penyebaran pembangunan dalam konteks pendekatan spasial
(tata ruang). Pendekatan spasial merupakan pendekatan interaksi lokasional,
yang menjelaskan dimana meletakkan prasaranan dan sarana pada daerah yang
membutuhksn interaksi sumberdaya-sumberdaya pembangunan yang terjadi pada suatu
tata ruang.
Dengan studi pembangunan perdesaan
secara cepat dan intensif dapat dikurangi penyusunan program berdasarkan
keinginan semata-mata, intervensi perencanaan dari pihak tingkat di atas
(kecamatan dan kabupaten) dan dominasi perencanaan oleh instansi sektoral.
Dasar
Pemikiran studi rapid dan studi intensif
Studi pembangunan pedesaan dapat
dilakukan secara cepat (Rapid Study) dan
secara studi intensif (Intensive study).
Studi rapid dilakukan pada tingkat kabupaten dan studi intensif dilakukan pada lingkup yang
lebih kecil, yaitu tingkat kecamatan.
Filofosi pembangunan yang bertumpu
pada paradigma klasik( trickle dow
effect) yang diintroduksikan oleh Albert
Hirschman merupakan mekanisme pembangunan yang bersifat top- down. Konsep ini dilandasi pula oleh sasaran pertumbuhan yang
tinggi lewat peningkatan produktivitas
kompleksitas produksi (produksi
develompement centre). Aplikasi konsep yang hegemonik ini menimbulkan
masalah yang cukup serius seperti ketimpangan, kemiskinan, keterbelakangan,
kemalasan (antara daerah dan antara golongan masyarakat).
Penerapan konsep tersebut secara
empirik telah memperlihatkan terjadinya kecenderungan secara tidak langsung
yaitu “pemarginalisasian masyarakat pada lapisan bawah (grass root). Masyarakat
lapisan bawah (umumnya masyarakat pedesaan) tidak lebih dari sekedar sebagai
obyek, sebagai penonton, dan suplemen pembangunan. Konsep pembangunan ini tidak
partisipatif dan dianggap tidak
bijaksana terhadap permasalahan yang dihadapi, pemanfaatan potensi dan
pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai penerima program pembangunan. paling
kurang terdapat tiga aspek esensial yang terabaikan dalam implementasi dan
kelembagaan ini, yaitu; pertama, tidak memperhatikan preferensi (selera)
masyarakat, kedua, mengabaikan lingkungan sosial dan budaya, dan ketiga,
merusak ekologi fisik. Pengabaian ini telah menimbulkan dampak pada tingginya
tingkat kegagalan pada berbagai program yang dilaksanakan pada berbagai daerah
di negara kita.
Sadar akan hal ini, maka perlu
dipikirkan secara mendesak untuk merumuskan kembali konsep pembangunan yang
bersifat populis, keberpihakan kepada golongan kecil dan mengakar pada masyarakat
di bawah. Upaya ini didukung oleh komitmen (kesepakatan) moralitas yang tinggi
dalam memberdayakan masyarakat bawah, yang kemudian dikuatkan oleh lahirnya
paradigma baru pembangunan, yaitu pemberdayaan masyarakat (people devolopment center) memalui bottom up yang bersifat aspiratif dan apresiatif dengan melibatkan
mereka pada proses pembangunan secara menyeluruh.
Tujuan
studi rapid dan studi intensif
Mengacu pada konsep di atas, maka
kegiatan studi rapid dan studi intensif bertujuan hampir sama, yaitu sebagai
berikut:
1. Menganalisis
keadaan kabupaten/ kecamatan lokasi studi pada saat ini
2. Mengeksplorasi
masalah kelembagaan, sosial ekonomi, lingkungan dan infrastruktur serta potensi
pembangunan yang dimiliki
3. Mengidentifikasi
hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan
4. Mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan pendekatan, strategi, dan model pembangunan perdesaan
yang digunakan
5. Mengidentifikasi
pusat-pusat pelayanan perdesaan berikut layanan dan fungsi yang dilaksnakan
6. Menyusun
rekomendasi mengenai garis besar kebijaksanaan pembangunan perdesaan do
kabupaten/kecamatan
7. Menyusun
program pembangunan yang merefleksikan kebutuhan masyarakat terhadap
pembangunan berkelanjutan di kabupaten/kecamatan.
Studi
yang mengandalkan data sekunder dirasakan lebih mudah oleh pihak yang belum
berpengalaman meneliti. Bagi pihak yang sudah berpengalaman dalam penelitian
lapangan, data yang dibutuhkan sering tidak tersedia, formatnya sering tidak
sesuai dengan yang diperlukan untuk perencanaan, maka diperlukan data primer.
Data
sekunder dikumpulkan dari kantor BPS kabupaten dan instansi Pemerintah Daerah
setempat. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metoda Participatory Rural Apprasial (PRA)
terutama menggunakan teknik wawancara semin structural
interview (SSI) dan teknik diskusi kelompok terarah ( Fokus Group Discussion/ FGD) pada tingkat desa dan kecamatan.
Penyusunan
rencana pembangunan perdesaan dimulai dengan mentabulasi dan menganalisis data
yang telah dikumpulkan dan berdasarkan hasilnya akan dilakukan analisis
permasalahan dan potensi pembangunan yang diikuti dengan analisis skenario
pembangunan, penyusunan kebijaksanaan dasar (Policy Statement, POST), penyusunan kerangka berpikir logis (logis framework, LOGFRAME) dan
penyusunan format program.
Ruang
Lingkup Studi Rapid dan Studi Intensif
Reformasi yang bergulir (sejak 1 997) bersamaan dengan tumbangnya
pemerintahan/ rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang
telah berkuasa selama 32 tahun. Sistem pemerintahan dan perencanaan pembangunan
dalam Rezim Orde Baru bersifat sentralistik, dimana pemerintah pusat mempunyai
kekuasaan dan kekuatan yang sangat besar dan menentukan, sebaliknya kedudukan
daerah –daerah tingkat provinsi dan kabupaten sangat lemah, ketergantungan
daerah-daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi.
Dalam era reformasi dilakukan
perombakkan dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik. Untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good government) diterapkan prinsip yang mendasar, yaitu;
transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (bertanggung jawab), dan
demokratisasi (persamaan kedudukan).
Dalam perencanaan pembangunan,
penerapan pendekatan yang tadinya bersifat top
down digantikan oleh pendekatan bottom
up, meskipun penerapan kedua pendekatan tersebut tidak dapat dibedakan secara tegas atau mutlak. Dalam pendekatan bottom up masih dirasakan pengaruh top down, harus tetap memperhatikan aspirasi masyarakat bawah.
Ruang
Lingkup dan Metoda Pelaksanaan Kegiatan Studi Rapid dan Intensif
secara
substansial ruang lingkup kegiatan (studi rapid dan studi intensif) meliputi
antara lain:
a.
Analisis profil kabupaten/ kecamatan
b.
Penentuan prioritas masalah
c.
Analisis kekuatan, kelemahan, peluang,
dan tantangan/kendala/ancaman
d.
Analisis potensi (dasar dan turunan)
e.
Analisis keinginan kelompok strategis
dalam masyarakat
f.
Penyusunan program yang diusulkan.
Khusus
studi intensif, kegiatan studi ini akan dilanjutkan dengan implementasi dari
program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tahapannya yaitu meliputi
survey, investigasi, dan desain (SID) proyek/program yang telah diusulkan
sebelum kepada tahap implementasi. Sebelum implementasi program tersebut,
dilakukan pula sosialisasi (hasil studi), pendampingan dan penguatan
kelembagaan di daerah perdesaan yang bersangkutan.
Dalam
tahapan implementasi proyek atau program, masyarakat diajak partisipasinya
dalam memberikan kontribusi misalnya dalam bentuk penyerahan lahan secara
sukarela (yang akan dilalui pembangunan jaringan/saluran irigasi, kontribusi dalam tenaga kerja dan
lainnya) tanpa minta pembayaran ganti rugi harga lahannya.
Metoda
pelaksanaan kegiatan dalam studi intensif secara ringkas dilakukan sebagai
berikut:
a.
Melakukan lokakarya tingkat desa yang
menghadirkan wakil-wakil dari kelompok yang ada, dengan memaparkan seluruh
hasil FGD kelompok yang kemudian didiskusikan untuk menentukan skala prioritas
dan menyusun rencana program kegiatan pembangunan desa menurut versi desa.
b.
Melakukan identifikasi kelompok-kelompok
masyarakat baik formal maupun non formal untuk meyakinkan semua komponen
masyarakat dapat terwakili dalam proses perencanaan.
c.
Melakukan Fokus Group Discussion (FGD) bagi setiap kelompok masyarakat yang
ada untuk mengidentifikasi dan merangkum masalah yang dihadapi, menentukan
strategi pemecahan dan merumuskan program pembangunan yang di usulkan menurut
versi kelompok yang bersangkutan.
d.
Melakukan pengumpulkan data primer dan
sekunder dari berbagai sumber, seperti buku potensi desa, buku profil
kecamatan, instansi teknis di tingkat desa dan kecamatan, serta wawancara
dengan beberapa responden (purposive
sampling) untuk memperoleh data dan informasi yang tidak tersedia pada
sumber data utama.
e.
Memfasilitasi masyarakat melalui
pendekatan Participatory Rural Appraisal
(PRA) dalam berbagai kegiatan, seperti pemetaan desa, analisis mata
pencaharian, orientasi perdagangan lintas desa dan lainnya.
Metoda
Rapid Rural Apprasial (RRA) dan
Participatory Rural Apprasial (RPA)
Beberapa
metoda dan pendekatan telah dikembangkan untuk memahami dan merumuskan
kebijaksanaan guna memecahkan masalah pembangunan perdesaan.
1.
Kekecewaan terhadap proses survey konvensional melalui kuisioner
dan hasil-hasilnya. Pengalaman menunjukkan bahwa survey kuisioner cenderung
berlebihan dan membosankan, data yang didapat kadang-kadang tidak akurat,
sehingga tidak dapat dijadikan acuan. Setidaknya ada dua aspek yang menyebabkan
metoda survey kadang kurang dipakai.
Pertama, masyarakat cenderung hanya dijadikan obyek saja dan kurang dilibatkan
dalam merumuskan masalah dan penyusunan kebijaksanaan. Masalah riset kebanyakan
dirumuskan oleh tenaga peneliti profesional (dari luar perdesaan), akibatnya
perumusan masalah sering tidak sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi
masyarakat perdesan. Kedua, dalam penerapan kebijaksanaan, masyarakat hanya
sebagai seorang yang menerima bukan sebagai pelaku atau pelaksana, sehingga
seringkali kebijaksanaan kurang dipahami dan kurang dapat diterima oleh
masyarakat. Masyarakat perdesaan pada umumnya tidak mengetahui apa tujuan dan
apa yang ingin dicapai dari program yang dilaksanakan. Masyarakat kurang
respons, masa bodoh, atau menolak secara tidak langsung.
2.
Mencari metoda pemahaman yang lebih
efektif, maka tumbuh kesadaran dan pemahaman para ahli pembangunan terhadap
kenyataan bahwa masyarakat perdesaan itu mempunyai pengetahuan
bermacam-bermacam yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Menyadari kelemahan metoda
pendekatan RRA, maka telah diupayakan beberapa penelitian untuk menerapkan
beberapa pendekatan berdasarkan kesepakatan antara masyarakat dan peneliti
menggunakan metoda yang bersifat terbuka, melakukan diskusi antara masyarakat dan
peneliti secara terus menerus untuk menganalisis permasalahan pokok yang
dihadapi dan berusaha memecahkan maslaha tersebut dengan kekuatan mereka
sendiri. Peneliti hanya bertindak sebagai fasilitator. Metoda dan pendekatan
ini disebut dengan Participatory Rural
Apparsial (PRA).
Dalam RRA informasi lebih banyak
diperoleh dan diambil orang laur, masyarakat sebagai penonton, bukan sebagai
pelaku, sedangkan PRA, masyarakat pedesaan sendiri yang lebih memiliki
informasi, pemberdayaan masyarakat untuk
memecahkan masalah yang dihadapi, masyarakat diletakan sebagai inti dalam
proses pembangunan, bukan sebagai penonton tetapi harus secara aktif ikut serta
(dilibatkan) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Metoda dan pendekatan PRA tampaknya lebih sesuai
dengan tuntutan paradigma pembangunan yang berkelanjutan.
Memahami desa secara cepat (RRA)
menyebar pada tahun 1980-an serta perubahan yang lebih jauh menjadi memahami
desa secara partisipastif (PRA) yang
mulai dan menyebar dengan cepat pada tahun 1990-an. PRA sebagai salah satu
pendekatan dan metoda untuk mempelajari kondisi dan kehidupan perdesaan dari,
dengan dan oleh masyarakat perdesaan.
Untuk memperoleh gambaran
perbandingan RRA dan PRA, diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel Perbandingan RRA dan PRA
Aspek
|
RRA
|
PRA
|
1. Kurun Waktu
|
Akhir 1970-an
|
Akhir 1980-an
|
2. Perkembangan
|
1980-an
|
1990-an
|
3. Pembahasan berdasar pada
|
Perguruan Tinggi
|
Organisasi non Pemerintah
|
4. Sumber-sumber informasi yang
dilihat lebih dahulu
|
Pengetahuan masyarakat setempat
|
Kemampuan masyarakat setempat
|
5. Pembaharuan utama
|
Metoda
|
Perilaku
|
6. Tujuan ideal
|
Belajar melalui orang luar
|
Pemberdayaan masyarakat setempat
|
7. Sifat proses
|
Penggalian (elicitif)
|
Partisipatif
|
8. Peran orang luar
|
Penyidik
|
Fasilitator
|
Orientasi
partisipasi PRA memberikan dorongan terhadap perkembangan metoda. Terdapat
penemuan yang menonjol dalam metode PRA, diantaranya adalah:
1.
Kecakapan dan pengetahuan warga desa.
Warga desa memiliki kemampuan yang cukup diandalkan untuk membuat peta, model,
kuantitas dan perkiraan, raking, skor dan diagram.
2.
Hubungan yang santai antara orang luar
dan warga desa dapat dan harus terus dibentuk sejak awal proses. Hubungan yang
baik itu merupakan kunci untuk memudahkan partisipasi warga.
3.
Pengalaman bertatap muka secara langsung
dilapang adalah merupakan kunci utama.
4.
PRA dikenal memiliki tiga landasan yaitu
metoda, sikap atau tingkah laku dan saling berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar