Senin, 01 Februari 2016

KONSEP PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERDESAAN ( Pendekatan Studi Rapid dan Studi Intensif )

Dodo Kurniawan, SE., ME.
Akademisi STIE & STKIP YAPIS Dompu

Latar Belakang
Konsep perencanaan pembangunan perdesaan yang berasal dari bawah (bottom up planning) yang telah diterapkan selama ini mulai dari musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbangdes), musyawarah rencana pembangunan kecamatan (musrenbangkec), musyawarah rencana pembangunan kabupaten (musrenbangkab), musyawarah rencana pembangunan provinsi (musrenbangprov)  sampai pada musyawarah rencana pembangunan nasional (musrenbangnas), hingga kini ternyata belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini terbukti dengan masih adanya beberapa usulan dari desa yang hanya dirumuskan oleh beberapa orang saja (segmentik), dan bahkan masih terkadang ditemukan usulan yang dirumuskan oleh hanya Kepala Desa dan Ketua BPD atau seringkali mengalami intervensi dari pemerintah tingkat kecamatan.
Pada tingkat musrenbang kecamatan dan musrenbang kabupaten juga seringkali ditemukan adanya dominasi sektoral dalam proses tawar menawar program tanpa melihat dan mempertimbangkan usulan yang muncul dari bawah. Kondisi ini juga dimungkinkan karena memang usulan dari bawah tersebut tidak memiliki dasar yang kuat sebagai aspirasi masyarakat dari desa yang bersangkutan.
Menyadari masih banyaknya kelemahan dan ketidaksempurnaan sistem perencanaan pembangunan pendesaan masa lalu, meskipun telah dilakukan perencanaan dari bawah, maka salah satu upaya untuk memberikan panduan terutama kepada para perencana dan pengambil keputusan serta peneliti pembangunan pedesaan tentang bagaimana melaksanakan perencanaan pembangunan perdesaan, bagaimana melaksanakan perencanaan pembangunan perdesaan dari bawah menggunakan pendekatan partisipatif, yaitu dengan melakukan studi pembangunan perdesaan secara cepat dan intensif.
Studi Pembangunan Perdesaan Secara Cepat (Rapid Study) adalah untuk lingkup kabupaten dan Studi Pembangunan Perdesaan Intensif (intesive Study) adalah lingkup kecamatan. Kedua studi tersebut pada dasarnya adalah serupa, perbedaanya adalah mengenai lingkup studinya, yang pertama adalah untuk kabupaten dan yang kedua untuk kecamatan. Kedua studi ini menguraikan tentang gambaran wajah (profil) dan keadaan daerah yang diamati studi, meliputi sumberdaya alam, dan lingkungan, kependudukan dan pola permukiman, sistem administrasi pemerintahan, proses dan prosedur perencanaan pembangunan, metoda pengumpulan data melalui diskusi kelompok terarah (Fokus Group Discussion), melakukan analisis-analisis (a) kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, (b) analisis permasalahan, (c) analisis potensi, dan (d) analisis kepetingan/kebutuhan. Tujuan, strategi kebijaksanaan dan program pembangunan yang dibutuhkan  menggunakan kriteria terukur. Selain dari pada itu dilakukan pula penentuan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) sebagai upaya penyebaran pembangunan dalam konteks pendekatan spasial (tata ruang). Pendekatan spasial merupakan pendekatan interaksi lokasional, yang menjelaskan dimana meletakkan prasaranan dan sarana pada daerah yang membutuhksn interaksi sumberdaya-sumberdaya pembangunan yang terjadi pada suatu tata ruang.
Dengan studi pembangunan perdesaan secara cepat dan intensif dapat dikurangi penyusunan program berdasarkan keinginan semata-mata, intervensi perencanaan dari pihak tingkat di atas (kecamatan dan kabupaten) dan dominasi perencanaan oleh instansi sektoral.

Dasar Pemikiran studi rapid dan studi intensif
Studi pembangunan pedesaan dapat dilakukan secara cepat (Rapid Study) dan secara studi intensif (Intensive study). Studi rapid dilakukan pada tingkat kabupaten dan  studi intensif dilakukan pada lingkup yang lebih kecil, yaitu tingkat kecamatan.
Filofosi pembangunan yang bertumpu pada paradigma klasik( trickle dow effect)  yang diintroduksikan oleh Albert Hirschman merupakan mekanisme pembangunan yang bersifat top- down­. Konsep ini dilandasi pula oleh sasaran pertumbuhan yang tinggi lewat peningkatan produktivitas  kompleksitas produksi (produksi develompement centre). Aplikasi konsep yang hegemonik ini menimbulkan masalah yang cukup serius seperti ketimpangan, kemiskinan, keterbelakangan, kemalasan (antara daerah dan antara golongan masyarakat).
Penerapan konsep tersebut secara empirik telah memperlihatkan terjadinya kecenderungan secara tidak langsung yaitu “pemarginalisasian masyarakat pada lapisan bawah (grass root).  Masyarakat lapisan bawah (umumnya masyarakat pedesaan) tidak lebih dari sekedar sebagai obyek, sebagai penonton, dan suplemen pembangunan. Konsep pembangunan ini tidak partisipatif  dan dianggap tidak bijaksana terhadap permasalahan yang dihadapi, pemanfaatan potensi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai penerima program pembangunan. paling kurang terdapat tiga aspek esensial yang terabaikan dalam implementasi dan kelembagaan ini, yaitu; pertama, tidak memperhatikan preferensi (selera) masyarakat, kedua, mengabaikan lingkungan sosial dan budaya, dan ketiga, merusak ekologi fisik. Pengabaian ini telah menimbulkan dampak pada tingginya tingkat kegagalan pada berbagai program yang dilaksanakan pada berbagai daerah di negara kita.
Sadar akan hal ini, maka perlu dipikirkan secara mendesak untuk merumuskan kembali konsep pembangunan yang bersifat populis, keberpihakan kepada golongan kecil dan mengakar pada masyarakat di bawah. Upaya ini didukung oleh komitmen (kesepakatan) moralitas yang tinggi dalam memberdayakan masyarakat bawah, yang kemudian dikuatkan oleh lahirnya paradigma baru pembangunan, yaitu pemberdayaan masyarakat (people devolopment center) memalui bottom up yang bersifat aspiratif dan apresiatif dengan melibatkan mereka pada proses pembangunan secara menyeluruh.

Tujuan studi rapid dan studi intensif
Mengacu pada konsep di atas, maka kegiatan studi rapid dan studi intensif bertujuan hampir sama, yaitu sebagai berikut:
1.      Menganalisis keadaan kabupaten/ kecamatan lokasi studi pada saat ini
2.      Mengeksplorasi masalah kelembagaan, sosial ekonomi, lingkungan dan infrastruktur serta potensi pembangunan yang dimiliki
3.      Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan
4.      Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pendekatan, strategi, dan model pembangunan perdesaan yang digunakan
5.      Mengidentifikasi pusat-pusat pelayanan perdesaan berikut layanan dan fungsi yang dilaksnakan
6.      Menyusun rekomendasi mengenai garis besar kebijaksanaan pembangunan perdesaan do kabupaten/kecamatan
7.      Menyusun program pembangunan yang merefleksikan kebutuhan masyarakat terhadap pembangunan berkelanjutan di kabupaten/kecamatan.
Studi yang mengandalkan data sekunder dirasakan lebih mudah oleh pihak yang belum berpengalaman meneliti. Bagi pihak yang sudah berpengalaman dalam penelitian lapangan, data yang dibutuhkan sering tidak tersedia, formatnya sering tidak sesuai dengan yang diperlukan untuk perencanaan, maka diperlukan data primer.
Data sekunder dikumpulkan dari kantor BPS kabupaten dan instansi Pemerintah Daerah setempat. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metoda Participatory Rural Apprasial (PRA) terutama menggunakan teknik wawancara semin structural interview (SSI) dan teknik diskusi kelompok terarah ( Fokus Group Discussion/ FGD) pada tingkat desa dan kecamatan.
Penyusunan rencana pembangunan perdesaan dimulai dengan mentabulasi dan menganalisis data yang telah dikumpulkan dan berdasarkan hasilnya akan dilakukan analisis permasalahan dan potensi pembangunan yang diikuti dengan analisis skenario pembangunan, penyusunan kebijaksanaan dasar (Policy Statement, POST), penyusunan kerangka berpikir logis (logis framework, LOGFRAME) dan penyusunan format program.

Ruang Lingkup Studi Rapid dan Studi Intensif
Reformasi yang bergulir (sejak  1 997) bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan/ rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Sistem pemerintahan dan perencanaan pembangunan dalam Rezim Orde Baru bersifat sentralistik, dimana pemerintah pusat mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang sangat besar dan menentukan, sebaliknya kedudukan daerah –daerah tingkat provinsi dan kabupaten sangat lemah, ketergantungan daerah-daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi.
Dalam era reformasi dilakukan perombakkan dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik. Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good government) diterapkan prinsip yang mendasar, yaitu; transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (bertanggung jawab), dan demokratisasi (persamaan kedudukan).
Dalam perencanaan pembangunan, penerapan pendekatan yang tadinya bersifat top down digantikan oleh pendekatan bottom up, meskipun penerapan kedua pendekatan tersebut tidak dapat dibedakan  secara tegas atau mutlak. Dalam pendekatan bottom up masih dirasakan pengaruh top down, harus tetap memperhatikan aspirasi masyarakat bawah.



Ruang Lingkup dan Metoda Pelaksanaan Kegiatan Studi Rapid dan Intensif
secara substansial ruang lingkup kegiatan (studi rapid dan studi intensif) meliputi antara lain:
a.       Analisis profil kabupaten/ kecamatan
b.      Penentuan prioritas masalah
c.       Analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan/kendala/ancaman
d.      Analisis potensi (dasar dan turunan)
e.       Analisis keinginan kelompok strategis dalam masyarakat
f.       Penyusunan program yang diusulkan.
Khusus studi intensif, kegiatan studi ini akan dilanjutkan dengan implementasi dari program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tahapannya yaitu meliputi survey, investigasi, dan desain (SID) proyek/program yang telah diusulkan sebelum kepada tahap implementasi. Sebelum implementasi program tersebut, dilakukan pula sosialisasi (hasil studi), pendampingan dan penguatan kelembagaan di daerah perdesaan yang bersangkutan.
Dalam tahapan implementasi proyek atau program, masyarakat diajak partisipasinya dalam memberikan kontribusi misalnya dalam bentuk penyerahan lahan secara sukarela (yang akan dilalui pembangunan jaringan/saluran  irigasi, kontribusi dalam tenaga kerja dan lainnya) tanpa minta pembayaran ganti rugi harga lahannya.
Metoda pelaksanaan kegiatan dalam studi intensif secara ringkas dilakukan sebagai berikut:
a.       Melakukan lokakarya tingkat desa yang menghadirkan wakil-wakil dari kelompok yang ada, dengan memaparkan seluruh hasil FGD kelompok yang kemudian didiskusikan untuk menentukan skala prioritas dan menyusun rencana program kegiatan pembangunan desa menurut versi desa.
b.      Melakukan identifikasi kelompok-kelompok masyarakat baik formal maupun non formal untuk meyakinkan semua komponen masyarakat dapat terwakili dalam proses perencanaan.
c.       Melakukan Fokus Group Discussion (FGD) bagi setiap kelompok masyarakat yang ada untuk mengidentifikasi dan merangkum masalah yang dihadapi, menentukan strategi pemecahan dan merumuskan program pembangunan yang di usulkan menurut versi kelompok yang bersangkutan.
d.      Melakukan pengumpulkan data primer dan sekunder dari berbagai sumber, seperti buku potensi desa, buku profil kecamatan, instansi teknis di tingkat desa dan kecamatan, serta wawancara dengan beberapa responden (purposive sampling) untuk memperoleh data dan informasi yang tidak tersedia pada sumber data utama.
e.       Memfasilitasi masyarakat melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam berbagai kegiatan, seperti pemetaan desa, analisis mata pencaharian, orientasi perdagangan lintas desa dan lainnya.

Metoda Rapid Rural Apprasial (RRA)  dan Participatory Rural Apprasial (RPA)
Beberapa metoda dan pendekatan telah dikembangkan untuk memahami dan merumuskan kebijaksanaan guna memecahkan masalah pembangunan perdesaan.
1.      Kekecewaan terhadap  proses survey konvensional melalui kuisioner dan hasil-hasilnya. Pengalaman menunjukkan bahwa survey kuisioner cenderung berlebihan dan membosankan, data yang didapat kadang-kadang tidak akurat, sehingga tidak dapat dijadikan acuan. Setidaknya ada dua aspek yang menyebabkan metoda survey  kadang kurang dipakai. Pertama, masyarakat cenderung hanya dijadikan obyek saja dan kurang dilibatkan dalam merumuskan masalah dan penyusunan kebijaksanaan. Masalah riset kebanyakan dirumuskan oleh tenaga peneliti profesional (dari luar perdesaan), akibatnya perumusan masalah sering tidak sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat perdesan. Kedua, dalam penerapan kebijaksanaan, masyarakat hanya sebagai seorang yang menerima bukan sebagai pelaku atau pelaksana, sehingga seringkali kebijaksanaan kurang dipahami dan kurang dapat diterima oleh masyarakat. Masyarakat perdesaan pada umumnya tidak mengetahui apa tujuan dan apa yang ingin dicapai dari program yang dilaksanakan. Masyarakat kurang respons, masa bodoh, atau menolak secara tidak langsung.
2.      Mencari metoda pemahaman yang lebih efektif, maka tumbuh kesadaran dan pemahaman para ahli pembangunan terhadap kenyataan bahwa masyarakat perdesaan itu mempunyai pengetahuan bermacam-bermacam yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Menyadari kelemahan metoda pendekatan RRA, maka telah diupayakan beberapa penelitian untuk menerapkan beberapa pendekatan berdasarkan kesepakatan antara masyarakat dan peneliti menggunakan metoda yang bersifat terbuka, melakukan diskusi antara masyarakat dan peneliti secara terus menerus untuk menganalisis permasalahan pokok yang dihadapi dan berusaha memecahkan maslaha tersebut dengan kekuatan mereka sendiri. Peneliti hanya bertindak sebagai fasilitator. Metoda dan pendekatan ini disebut dengan Participatory Rural Apparsial (PRA).
Dalam RRA informasi lebih banyak diperoleh dan diambil orang laur, masyarakat sebagai penonton, bukan sebagai pelaku, sedangkan PRA, masyarakat pedesaan sendiri yang lebih memiliki informasi, pemberdayaan masyarakat  untuk memecahkan masalah yang dihadapi, masyarakat diletakan sebagai inti dalam proses pembangunan, bukan sebagai penonton tetapi harus secara aktif ikut serta (dilibatkan) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Metoda  dan pendekatan PRA tampaknya lebih sesuai dengan tuntutan paradigma pembangunan yang berkelanjutan.
Memahami desa secara cepat (RRA) menyebar pada tahun 1980-an serta perubahan yang lebih jauh menjadi memahami desa secara  partisipastif (PRA) yang mulai dan menyebar dengan cepat pada tahun 1990-an. PRA sebagai salah satu pendekatan dan metoda untuk mempelajari kondisi dan kehidupan perdesaan dari, dengan dan oleh masyarakat perdesaan.
Untuk memperoleh gambaran perbandingan RRA dan PRA, diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel Perbandingan RRA dan PRA

Aspek
RRA
PRA
1.      Kurun Waktu
Akhir 1970-an
Akhir 1980-an
2.      Perkembangan
1980-an
1990-an
3.      Pembahasan berdasar pada
Perguruan Tinggi
Organisasi non Pemerintah
4.      Sumber-sumber informasi yang dilihat lebih dahulu
Pengetahuan masyarakat setempat
Kemampuan masyarakat setempat
5.      Pembaharuan utama
Metoda
Perilaku
6.      Tujuan ideal
Belajar melalui orang luar
Pemberdayaan masyarakat setempat
7.      Sifat proses
Penggalian (elicitif)
Partisipatif
8.      Peran orang luar
Penyidik
Fasilitator

Orientasi partisipasi PRA memberikan dorongan terhadap perkembangan metoda. Terdapat penemuan yang menonjol dalam metode PRA, diantaranya adalah:
1.      Kecakapan dan pengetahuan warga desa. Warga desa memiliki kemampuan yang cukup diandalkan untuk membuat peta, model, kuantitas dan perkiraan, raking, skor dan diagram.
2.      Hubungan yang santai antara orang luar dan warga desa dapat dan harus terus dibentuk sejak awal proses. Hubungan yang baik itu merupakan kunci untuk memudahkan partisipasi warga.
3.      Pengalaman bertatap muka secara langsung dilapang adalah merupakan kunci utama.
4.      PRA dikenal memiliki tiga landasan yaitu metoda, sikap atau tingkah laku dan saling berbagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar