Oleh
Dodo
Kurniawan, SE., ME.
Mesjid
Subulussalam Desa Matua
Desember 2016
Hadirin sidang Jum’at yang berbahagia
Pertama
dan paling utama, marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kehadiran
Allah SWT atas segala nikmat kesehatan,
kesempatan dan sekaligus nikmat Islam dan Iman sehingga kita sebagai ummat Islam
bisa menjalankan ibadah sholat Jum’at berjama’ah
Sholawat
dan salam kita senantiasa bacakan kepada Nabi Muhammad yang sepanjang hayatnya
gigih berjuang mengorbankan jiwa, raga, harta dan bendanya hanya untuk
menegakkan agama Islam. Agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam raya ini.
Khotib
berwasiat kepada Jama’ah Jum’at sekalian, terutama pada diri khotib pribadi dan
keluarga, marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita
kepada Allah SWT dengan cara menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala
larangannya sesuia tingkat keimanan dan ketaqwaan kita masing-masing dan
dilakukan secara bertahap serta terus menerus dengan istiqomah (konsisten).
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan
Allah
Adapun judul khutbah pada
jum’at tanggal 23 Desember 2016 yakni Al-Qur’an
sebagai Tempat Kembali.
Allah SWT. Berfirman.
9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang
mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,
Dasar utama syariat Islam
yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW. Ialah Al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW.
Memimpin umatnya menuju ksempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat
juga dengan Al-Qur’an. Bahkan dengan senjata Al-Qur’an itulah, Nabi Muhammad
SAW. Berhasil mengangkat derajat umatnya dari lembah kehinaan dan kesengsaraan
yang disebabkan keadaan moral manusia pada waktu itu sudah sangat bejat atau
penyakit krisis akhlak. Namun dengan bimbingan Al-Qur’an, penyakit akhlak ini
dapat terobati sehingga umat Nabi Mumahammad SAW. Dapat berbalik menjadi umat
yang terhormat, memiliki kepribadian luhur, dan tahu akan hak dan kewajiban
dalam hidup ini.
Dari lembaran sejarah
perkembangan umat Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dan pada masa-masa
keemasan Islam ketika mengalami kemajuan yang sangat pesat dan mengalami
kejayaan yang begitu hebat, terbukti bahwa semua itu karena mereka benar-benar
memegang teguh ajaran Al-Qur’an, sangat mengagumi Al-Qur’an, menjunjung tinggi
perintah Allah SWT., dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh. Begitu hebatnya
Al-Qur’an dalam melambangkan kesucian, kebenaran dan keadilan dalam kehidupan
umat manusia sehingga pada zaman itu Al-Qur’an benar-benar merupakan pelita
yang tak junjung padam bagi umat Islam, yang selalu menyinari perjuangan kaum
muslimin menuju arah jalan hidup yang benar di mana pun juga. Firman Allah,
seperti ayat 9 surat al-Isra’ mengisaratkan hal itu.
Betapa pun hebatnya umat
Islam pada zaman itu dalam mencari kemajuan dunia dengan sehebat-hebatnya,
mereka tak pernah meninggalkan Al-Qur’an sedikit pun. Suara seruan dan cahaya
Al-Qur’an dapat menembus hati mereka hingga kecintaan umat Islam terhadap
Al-Qur’an pada zaman itu telah mendarah daging. Jiwa mereka menjadi tentram,
hati mereka merasa terobati, pikiran mereka menjadi tenang karena pentunjuk-petunjuk
Al-Qur’an.
Besarnya perhatian umat
Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW.terhadap Al-Qur’an terbukti dengan banyaknya
para sahabat yang hafal Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai alat menghubungkan
diri dengan dengan Allah SWT. Untuk
mencari ketentraman hidup. Para sahabat bukan hanya sekedar menghafal bacaan
Al-Qur’an, tetapi betul-betul memahami isinya, rahasia hikamh yang terkandung
di dalamnya.
Dari lembaran sejarah
pula, kita dapat mengetahui bahwa di antara factor-faktor yang menyebabkan kaum
muslimin mengalami kemunduran, bahkan keadaan rohani mereka makin lama makin
merosot, di antaranya adalah karena makin lama mereka makin jauh dari
Al-Qur’an. Kecintaan seorang muslim terhadap Al-Qur’an makin berkurang dan
amal-amal mereka banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.
Suasana rumah tangga pun
menjadi muram dan suram karena tidak pernah mendapat sinar cahaya dari
Al-Qur’an. Dalam rumah mereka pernah terdengar lagi suara Al-Qur’an. Yang ada
hanya suar nafsu, suara hati yang selalu tunduk dibawah bujukan setan sehingga
jiwanya tak pernah merasa tentram. Kehidupan mereka menjadi terlepas dari
pertolongan Allah SWT. Karena tidak ada lagi tali yang menghubungkan dirinya
dengan Allah, yaitu Al-Qur’anul Karim.
82. dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian.
Menyikapi perubahan pola
hidup umat Islam, Abu Bakar pernah menyampaikan sebuah sinyalemen sekaligus
nasihat kepada sahabat yang lain, “kelak
akan kalian saksikan kepemimpinan seorang pemimpin yang berkuasa secara
dictator dan otoriter. Akibatnya, kondisi rakyat saat itu terpecah- belah dan
banyak darah yang mengalir sia-sia disebabkan banyaknya pertentangan serta
pertikaian di antara mereka. Kemudian kebatilan pun semakin menjadi-jadi
padahal ahli kebenaran berada di tengah-tengahnya, tetapi pada kenyataannya
tidak mempunyai pengaruh sama sekali, lalu seakan-akan norma kebaikan menjadi
hilang”.
Andaikan kondisinya
seperti itu, Abu Bakar pun melanjutkan pernyataannya sebagi solusi untuk
mengatasi keadaan yang dihadapi umat saat itu, ”Hendaklah mereka kembali ke Masjid serta sebarkan Al-Qur’an dan
berpegang teguhlah padanya.”
Kalau kita mencermati, pernyataan
yang dikutib dari kitab Atsar Shahabah itu benar-benar terbukti. Sinyalemen
tersebut dapat dilihat dari sejarah perjalanan umat Islam, mulai dari
kepemimpinan Mu’awiyah hingga umat Islam terpecah-belah dan tersebar di
berbagai Negara. Penyebab utamanya adalah ketidakmampiun sekaligus sikap arogan
para pemimpinnya sehingga kelemahan yang ada dalam umat yang dipimpinnya tidak
pernah diperbaiki. (contoh Negara Islam di timur tengah Surya, Irak, Tunesia,
dll).
Di Negara kita sendiri,
fenomena yang muncul di masyarakat, yaitu adanya perang sudara dengan isu-isu
sara yang tak pernah berkesudahan, serta yang paling mengecewakan adalah
terjadinya perpecahan di tubuh umat Islam itu sendiri karena memperjuangkan
idealism tokohnya masing-masing. Di sisi lain para tokoh agama dan
lembaga-lembaga keagamaan, baik swasta maupun yang dibiayai oleh Negara, terus
menyebarkan nilai-nilai kebenaran, tetapi kenyataannya tidak pernah memberikan
bekas pada kehidupan ini. Perjudian, perzinaan, dan mabuk-mabukkan serta
berbagai penyimbangan hidup lainnya semakin merajalela di tanah air kita ini
bahkan terjadi di daerah kita dan yang lebih memprihatinkan lagi terjadi di
lingkungan kita tercinta ini.
Selain itu pula, keadaan
politik, ekonomi, social, budaya dan pendidikan semakin terpuruk kelembah
juruang kehancuran. Rakyat kecil menderita karena semakin timpangnya
kesenjangan antara si Miskin dan si Kaya, moralitas pemuda menjadi rusak, dan
anak-anak kehilangan masa depan, tak lagi ceria menatap hari esoknya sebab
menjadi korban konflik yang tak berkesudahan, dan tentu saja perekonomian pun
menjadi terburuk.
Apabila keadaan sudah
carut marut seperti ini, nasihat Abu Bakar di atas memberikan dua solusi kepada
kita.
Solusi Pertama adalah
kembali ke Masjid. Maksudnya, tidak sekedar memakmurkan masjid secara fisik
saja, melainkan yang terpenting membangun nilai-nilai masjid kedalam kehidupan
ini. Sebab sholat berjamaah yang dilakukan di masjid mempunyai makna filofosi
yang sangat dalam, yaitu bermakna kebersamaan. Nilai-nilai tersebut sangat
penting artinya dikala bangsa dan daerah serta lingkungan kita sedang mengalami
pertentangan.
Hal ini sesuai dengan
Hadis Rasulullah SAW.
“Sholat Jama’ah adalah rahmat dan dia lebih baik dari dunia dan isinya.
Jama’ah adalah rahmat, bercerai berai adalah siksa.”
Maka peribahasa yang
mengatakan, Bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh” mengamanatkan kepada kita
bahwa kita harus selalu menjaga persatuan dan kesatuan. Tak terbayangkan jika
bangsa, daerah dan lingkungan kita ini satu sama lain tidak lagi menjaga
nilai-nilai kebersamaan.
Kemudian makna filosofi
kedua dari sholat berjamaah adalah pendidikan diri agar rendah ahti. Hal
tersebut dicerminkan dari takbir yang pertama ketika hendak sholat yang
merupakan gambaran kepasrahan totalitas jiwa kita kepada Allah SWT. Bahwa diri
ini lemah dan kecil, tidak ada yang paling angung, melainkan Allah SWT. Jika
nilai-nilai takbir ini terwujud oleh setiap anak bangsa, niscaya tidak ada lagi
sifat orogansi para elit politik, satu golongan dengan golongan lainnya, dan
suku satu dengan lainnya,
Makna selanjutnya adalah
kepedulian sosial. Makna tersebut diisyaratkan dalam salam terakhir sebagai
penutup sholat. Salam yang kita lontarkan ke samping kanan dan kiri
mengamanatkan bahwa kita harus selalu memperhatikan nasib mereka yang ada
disekeliling kita karena salam berarti kesejahteraan. Di saat krisis
multidimensional ini diperlukan sikap peduli antara sesame. Terutama musibah yang tengah melanda negeri kita atau
saudara-saudara kita di Aceh.
Solusi Kedua adalah kembali pada
Al-Qur’an. Maksudnya, merealisasikan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam kehidupan
sehari-hari. Bahasa kenyataanya harus lebih fasih daripada bahasa bacaannya
lantaran ia merupakan pegangan hidup bagi umat manusia, sekaligus pembeda
antara hak (benar) dan yang Batil (Salah) (minal
huda wal furqaan), seperti yang tercantun dalam surat Al-Baqarah.
184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Sejalan dengan itu,
Rasulullah SAW. Pun pernah memberikan wasiat kepada kita tatkal akan wafat,
yaitu, “Kutinggalkan untuk kalian dua
perkara. Jika kalian berpegang teguh kepada dua perkara tersebut, kalian tidak
akan tersesat selama-lamanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah” (H.R.
Bukhari).
Untuk itu, perlu
ditanamkan nilai-nilai Qur’ani di dalam hidup ini supaya kita semua senantiasa
tidak tersesat.
Demikian isi Khutbah yang
dapat saya sampaikan. Semoga kita dapat menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah sebagai pedoman dan petunjuk dalam menjalani hidup dan kehidupan di
sisah umur kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar