Jakarta- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) makin serius menjalin sinergitas dengan Perguruan Tinggi. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan Pokja Perguruan Tinggi dalam rangka membantu semua proses yang ada dalam mendorong Desa Membangun. Paradigma baru menempatkan desa sebagai subjek pembangunan bukan sebagai objek pembangunan dimana desa mempunyai kewenangan dalam mengurus dirinya sendiri yang tertuang dalam landasan UU Desa No. 6 tahun 2014 dan UU No.23 tahun 2014.
Perguruan Tinggi yang merupakan institusi netral dan objektif, juga memiliki sumber daya yang mumpini diharapkan memiliki peran yang strategis dalam membantu program Kemendesa PDTT untuk mewujudkan Desa Membangun. Ada dua titik bagaimana Perguruan Tinggi memiliki peran, pertama, dari aspek regulasi yaitu mengeluarkan kebijakan yang baik dan dipastikan berjalan. Kedua, adanya sumber daya, SDM dan output dari akademik yang berbentuk teknologi yang bisa diterapkan di tingkat desa.
Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dirjen PPMD), Kemendesa PDTT, Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa desa memiliki potensi yang besar namun perlu ada yang ikut bantu mengawal dan mendampingi, di sinilah peran Perguruan Tinggi itu dimunculkan.
“Desa itu sebagian besar tidak seperti yang kita bayangkan, mereka devisit pengetahuan, terbatas sumberdaya maupun atribut-atribut yang identik dengan kekurangan. Namun mereka sebetulnya adalah komunitas yang banyak sekali potensi yang selama ini tidur atau yang secara sistematis ditidurkan. Saat ini tugas kita membangunkan kembali potensi yang besar itu.” Ungkap Erani, di Jakarta, Rabu (27/01).
Selain itu, desa memiliki kewenangan hak asal usul dan kewenangan skala desa untuk memperkuat dirinya sendiri yang tercermin dalam ruh landasan UU Desa No.6 tahun 2014, menurutnya di sini peran penting Perguruan Tinggi mengisi ruh tersebut. Setidaknya ada empat point utama yang bisa disentuh dan disumbang Perguruan Tinggi.
Pertama, tradisi riset yang kuat di Perguruan Tinggi. Diharapkan riset yang hendak dilakukan lebih banyak porsinya pada riset partisipatif. Menurutnya kerapkali kesalahan dalam mengidentifikasi masalah yang muncul di perdesaan adalah riset yang berjarak dengan objek yang menjadi bahan kajian.
“Sebisa mungkin riset yang hendak dilakukan itu lebih banyak porsinya pada riset partisipatif yang menempatkan warga desa sebagai bagian dari upaya pencarian atas problem-problem yang muncul itu, bukan riset yang melibatkan kampus sebagai institusi atau orang-orang yang maha tahu atas segala hal masalah di desa. Orang-orang dari kampus dan yang ada di desa itu memiliki kesetaraan merumuskan problem-problem. Sukur-sukur ada eksperimen riset yang terwujud dalam kegiatan action riset sehingga riset itu bisa bermanfaat.”
Kedua, Pendampingan, dalam beberapa hal pokok menjadi prioritas. Contohnya seperti KKN Tematik dan Pendamping Desa. Saat ini Kemendesa PDTT sudah menerjunkan 3000 pendamping. Tenaga Ahli kabupaten sebanyak 11-12 ribu orang, tenaga pendamping desa di kecamatan 4-5 ribu, pendamping lokal desa 18 ribu. Menurutnya jika KKN Tematik dan Pendaming desa bisa berkolaborasi maka akan menjadi kekuatan yang besar.
“Tentu saja pendamping dan organ-organ yang kita indeksikan bukan dalam posisi untuk menggantikan tugas-tugas atau kegiatan yang seharusnya dilakukan perangkat desa atau warga desa.”
Ia menambahkan dengan adanya pendampingan ini bukan berarti terciptanya ketergantungan. Ia melihat satire, desa membutuhkan pendampingan di saat desa sudah terbentuk puluhan tahun yang semestinya program-program di desa berhasil dan sudah bisa merumuskan secara mandiri apa yang dilakukan di desa bukan malah menjadi ketergantungan. Ia berharap kedepannya akan tercipta kader desa yang organik melalui peran dari Perguruan Tinggi ini.
“Kami ingin agar rantai ketergantungan semacam itu diputus, pendamping desa atau mahasiswa sifatnya sementara dan tugasnya memberdayakan desa. Pada akhirnya harus menciptkan kader desa yang organik ada di desa. Biar mereka memilih dan memikirkan sendiri. Kader desa yang organik ini yang akan menjadi model. Kampus bisa menyusun bagaimana model pendampingan yang ideal agar proses transisi bisa dilalui dengan baik.”
Ketiga, isu-isu yang terkait dengan memberikan substansi kepada program-program dan pembangunan di desa. Misalnya hal-hal terkait inovasi, penerapan Teknologi Tepat Guna yang sudah dilakukan dari hasil-hasil riset dan reflikasi.
“Kalau ada gagasan, ide, maka potensi akan terkonvensi menjadi aneka aktivitas dan tercipta kesejahteraan dalam berbagai dimensi. Contohnya terbentuknya Desa Wisata, Desa Budaya, Desa Sejarah, Desa Teknopark dll.” Ujaranya.
Keempat, hal-hal yang sifatnya jasa atau layanan akademik. Misalnya akan membuat desa model kurikulum yang bisa diperbaharui di desa sehingga lebih sensitif terhadap isu pembangunan Indonesia yang bertumpu dari desa. Melakukan Pelatihan, pemberian modul, beasiswa dan membentuk Bank data.
Selain keempat point di atas, Perguruan Tinggi juga memiliki peran dalam membantu regulasi dan advokasi. Menurutnya melihat realitas di lapangan, desa dikuasai oleh orang-orang yang tidak populer di desa, yang mengelola sumber daya seperti air, lahan dsb tidak dikelola warga desa. Kemudian, advokasi terhadap politik anggaran. Dengan adanya alokasi dana khusus memberikan afirmasi pada desa. Advokasi harus masuk pada dimensi yang mendalam seperti advokasi penguasaan kepemilikan lahan, ekonomi dll harus dikawal, disinilah perlu pendampingan Perguruan Tinggi. Sehingga penguatan kemandirian desa bisa segera dicapai. Perguruan Tinggi inilah yang punya objektifitas dan netral memberikan masukan, tutupnya.
Penulis: Meli
Sumber: http://kemendesa.go.id/berita/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar